Faktor – Faktor Ta’assub (Fanatisme Golongan)  

Posted by Abu Dzulfiqar in


Fenomena fnatisme terhadap suatu golongan, aliran, seseorang (sosok atau tokoh), gerakan atau jama’ah dakwah dulu dan sekarang sesungguhnya berakar dari dua hal, yaitu :

Pertama  : Watak dasar manusia yang suka berkumpul dan bergabung dengan kelompok yang diyakini di dalamnya ada kebaikan. Keyakinan tersebut terkadang berdasarkan kepada pandangan dan kesimpulan yang didapatkan dari pengalaman, namun ada pula keyakinan itu hanya karena ikut ikutan atau taqlid buta kepada seseorang yang diyakini memiliki fadhilah atau keutamaan tertentu.

Kedua      :  Watak selanjutnya yang timbul adalah mereka akan menerima semua yang mereka dapatkan dari kelompok mereka dengan ridha dan sepenuh hati. Jika mereka menemui sesuatu yang berlawanan dengan apa yang mereka dapatkan, maka dengan keras mereka akan menolaknya habis habisan. Bahkan mereka akan membantah pendapat yang berlawanan dengan cara menggunakan argument yang terkadang bukan untuk mencari kebenaran.

Ada beberapa kesalahan persepsi di kalangan para aktifis gerakan islam dewasa ini yang harus di jelaskan dengan gamblang. Kesalahan tersebut terkait dengan hal hal sebagai berikut :

Pertama       :        Tentang pemimpin dan penanggung jawab mereka.

Kedua           :       Tentang organisasi dan beberapa terminology yang mereka gunakan.

Ketiga           :        Tentang status seluruh kaum muslimin diluar golongan mereka.



Menurut Ibnu Taimiyyah, haram hukumnya memusuhi seseorang muslim dan menyakitinya dengan perkataan (pernyataan) atau dengan perbuatan tanpa alasan yang benar. Tidak dibenarkan bagi siapa saja yang fanatik kepada seorang guru mengambil begitu saja apa yang diucapkannya, baik berupa perintah, larangan dan juga dalam menghukumi seseorang. Akan tetapi ia harus mengecek dan meneliti ulang kebenarannya. Sehingga seseorang dihukum sesuai dengan dosa atau kesalahannya dan tidak dihukumi lebih.

Dalam risalahnya, Ibn Taimiyyah juga menegaskan wajibnya mengadakan tatsabbut (konfirmasi) jika terjadi perselisihan antara muallim dengan muallim, atau murid dengan murid yang lain, atau murid dengan guru. Dan dilarang pula untuk membela dan berpihak kepada salah satu dari mereka tanpa pengetahuan yang jelas dan hanya mengikuti hawa nafsu, baik yang terlibat pertentangan itu sahabat dekatnya ataupun bukan.


Dikalangan para aktifis dakwah islam saat ini ada beberapa pemahaman yang harus diluruskan dan dibetulkan. Karena jika hal ini dibiarkan maka kesalahan dan penyakit itu akan semakin mengakar kuat dalam tubuh ummat dan bisa melahirkan perpecahan hati. Efek lainnya adalah kita tidak bisa mengambil manfaat dari pengalaman para aktifis islam di dunia secara keseluruhan. Dalam hal ini ada dua pemahaman yang perlu diluruskan, yaitu :
  1. Pemahaman tentang bai’at
  2. Pemahaman tentang jama’ah


Sebelumnya perlu kita telaah sedikit tentang awal mula tumbuhnya gerakan dakwah yang nantinya akan memberi gambaran mengapa pemahaman tentang ba’iat sampai menyimpang, ketika dunia islam terjatuh dalam puncak kebodohan, keterbelakangan dan konflik internalnya, barat dengan segala kekuatannya berhasil menaklukkan sebagian besar Negara islam dan segala kekuatannya. Baik kekuatan tentara, politik ataupun budaya. Benturan fisik dan peradaban antara pihak islam dengan barat meluluh lantakkan eksistensi ummat islam membangkitkan kesadaran sebagian komponen yang sadar akan tanggung jawab dakwah untuk kembali kepada islam. Dengan kegigihan dan kesungguhannya mereka berhasil membangun kepercayaan yang sebelumnya tercabut dari hati dan pikiran ummat kepada agamanya, menanamkan kepada ummat bahwa islam adalah pegangan hidup yang sempurna (way of life).

Gerakan dakwah disambut baik oleh sebagian besar kaum muslimin yang serta merta berkumpul di sekeliling para pemimpin dakwah ini. Gerakan ini lebih dikenal dengan “Gerakan Islam Kontemporer” yang kemudin menjelma dan mewujud dalam bentuk organisasi organisasi dakwah. Maka wajar saja jika organisasi organisasi itu meganjurkan –baik secara langsung atau tidak- agar umat islam bergabung dan berjuang bersama mereka. Dan agar ajakan tersebut efektif maka dikuatkan dengan dalil dalil tentang kewajiban kerjasama dalam kebaikan untuk mencapai tujuan tujuan kebaikan islam dan bahwa langkah mereka adalah yang terbaik. Sikap ini sudah benar.

Masalahnya kemudian adalah menggunakan teks teks wahyu (nash) tertentu dalam kondisi yang asing bukanlah merupakan suatu persoalan mudah. Sebab pekejaan ini mutlak membutuhkan kemampuan penguasaan ilmu syariat yang didasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih, sekaligus pengusaan terhadap realitas di lapangan. Selanjutnya kedua hal tersebut (nash dan realitas) harus dikaitkan dengan benar (antara penerapan hukum dan konteksnya). Sehingga tak mungkin menggugurkan (membatalkan) salah satu dari keduanya karena ketidaktahuan salah satu nash yang terkait dengannya, atau menggugurkan nash yang ada karena ketidaktahuan dengan realitas tertentu di lapangan.

Keberanian akan perbuatan ini tanpa dibekali ilmu yang cukup akan melahirkan penyimpangan penyimpangan di dalam gerakan dakwah itu sendiri. Diantara teks teks syariat yang sering digunakan dalam aktifitas pergerakan islam adalah teks teks yang bertemakan bai’at, komitmen, taat (loyalitas), dan jama’ah. Teks teks syariat yang bermakna seperti diatas sangat banyak sekali. Diantaranya yang penting untuk dipahami maknanya adalah riwayat Muslim di kitab Shahih-nya dari Ibnu Umar, Rasululloh SAW bersabda :

Imam Muslim dalam Shahih-nya, Ahmad dalam Musnad-nya, dan An Nasa’I dalam Mujtaba meriwayatkan hadits marfu’ dari Abu Hurairah. Rasululloh SAW besabda :
Nash – nash seperti ini dan yang semakna dengannya yang menegaskan permasalahan permasalahan yang mendasar dalam memahami Amal Jama’i sekarang ini. Dari uraian di atas maka timbullah permasalahan penting, yaitu

Bai’at seperti apakah yang di syari’atkan yang jika ditinggalkan seorang muslim akan berdosa?

Apakah yang dimaksud disini adalah ber-bai’at kepada seorang ulama (syaikh)? Atau pemimpin sebuah jama’ah islam? Bagaimanakah caranya? Sedangkan ulama dan jama’ah islam pada saat ini sangat banyak dan tidak terbilang jumlahnya..!!?? Ataukah kita ber-bai’at kepada pemimpin pemerintahan islam yang menegakkan syariat Alloh SWT? Ada beberapa kemungkinan dalam hal ini.

Kaum muslimin saat ini belum memiliki pemerintahan yang layak diberikan bai’at syar’iyah. Lalu apakah dalam kondisi seperti ini seorang muslim berdosa jika meninggalkan bai’at? Atau mereka baru bisa dikatakan berdosa jika sudah ada pemerintahan islam yang tegak tapi mereka enggan ber-bai’at?

Makna yang paling mendekati kebenaran dari banyaknya dalil bahwa bai’at yang disyari’atkan adalah bai’at kepada pemimpin pemerintahan islam. Barangsiapa yang mampu ber-bai’at tetapi dia tidak melaksanakannya maka dia akan berdosa. Tetapi jika dia tidak mampu atau belum memenuhi syarat maka dia tidak berdosa. Wallahu a’lam.

Hadits hadits yang bertemakan bai’at sering disebut sebut dalam konteks Amal Jama’i dalam gerakan islam. Yang kebanyakan organisasi dakwah menggunakan hadits hadits tersebut untuk mempengaruhi orang lain agar bergabung dengan mereka. Sikap ini melahirkan keyakinan sebagian mdari mereka bahwa yang diluar barisan mereka atau yang tidak ber-bai’at dalam organisasi mereka hukumnya berdosa, bahkan ada keyakinan bahwa orang yang mati dan tidak ber-bai’at kepada mereka maka matinya seperti mati orang jahiliyyah. Ini adalah pemahaman yang salah dan akan melahirkan sikap sikap yang kaku.

Kutipan dari pendapat Ulama mengenai Bai’at
Agar permasalahan dan kebenaran semakin jelas, berikut beberapa kutipan pendapat dari para ulama terkenal.


Kutipan dari Imam Ahmad
Beliau pernah ditanya oleh ishaq bin ibrohim bin hani : “apakah makna hadits berikut ini?”
 
Sebelum menjawab Imam Ahmad balik bertanya “Apa yang kamu ketahui tentang imam (pemimpin)? Ishaq menjawab : Imam (pemimpin) adalah orang yang memimpin semua kaum muslimin. Imam Ahmad menjawab : inilah makna pemimpin (yang harus dimiliki) dalam hadits tersebut.” (Kitab Masail Ibnu Hani’ no. 2011)

Kutipan dari Imam Al Katsiri
Al-Katsiri dalam kitab Faidhul Baari (4/59) berkata : “Ketahuilah sesungguhnya hadits tersebut menunjukkan bahwa pemimpin yang mu’tabar (diakui) adalah pemimpin yang di-bai’at oleh mayoritas kaum muslimin. Atau paling tidak dibai’at oleh ahlul hall wal aqdi. Kalau ada seorang pemimpin yang dibai’at hanya oleh dua atau tiga orang maka dia bukan pemimpin yang mu’tabar.”

Berdasarkan penjelasan tersebut maka untuk saat sekarang ini tidak ada ancaman/dosa bagi mereka yang tidak ber-baiat (seperti hadits berikut dibawah ini), karena belum adanya pemimpin yang di akui dan yang membawahi semua kaum muslimin.

Hadits yang dimaksud adalah :
 
Kesimpulan diatas diambil berdasarkan sunnah Rasululloh SAW ketika memberikan anjuran kepada Hudzaifah bin Al Yaman untuk meninggalkan semua firqoh di saat tak ada jama’atul muslimin dan pemimpinnya. Bahkan Rasululloh SAW memerintahkan hudzaifah tetap seperti itu. Apakah ini berarti beliau menganjurkan hudzaifah untuk mati seperti matinya orang jahiliyyah (karena tidak mengikuti salah satu jama’ah dan pemimpin yang ada?) Sama sekali bukan..!!

Sudah jelaslah bahwa :

Pendapat yang mewajibakan bai’at kepada guru, ulama atau jama’ah adalah pendapat yang tidak memiliki dasar yang jelas dan jauh dari kebenaran..!!